Bismillahirrohmanirrohim.
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Segala
puji hanya milik Allah Rabbul ‘Alamin, kemenangan akhir adalah bagi
orang-orang yang bertaqwa dan tidak ada permusuhan kecuali terhadap
orang-orang zalim.
ARTIKEL INI SAYA PUBLISH UNTUK MEMBANTAH ARGUMENTASI
KAUM SUFI DAN LIBERAL JUGA
PARA ORIENTALIS YANG
INGIN MERUBAH MAKNA JIHAD yang
sebenarnya
!
Diantara
kesalahan tentang pemahaman Jihad yang menyebabkan ummat enggan untuk
melaksanakannya adalah pemahaman jihad besar (jihad melawan hawa nafsu)
dan jihad yang lebih rendah. Seiring dengan keyakinan ini, berjuang
melawan hawa nafsunya sendiri dipertimbangkan sebagai jihad yang
terbesar, yang menjadikan jihad dengan berperang di medan pertempuran
merupakan jihad yang paling rendah.
Lafazh-Lafazh Hadits:
- Al-Khatib Al-Baghdadi dalam bukunya, sejarah Baghdad, dari Yahya Ibnu al ‘Ala’ berkata,
“Kami
mendapatkan kabar dari Laith dari ‘Ata’, dari Abu Rabah, dari Jabir
mengatakan bahwa, “Sekembalinya Nabi saw dari perang, Beliau mengatakan
kepada kami, “Telah datang kepadamu berita yang baik, kamu datang dari
jihad yang rendah kepada jihad yang lebih besar yaitu seorang hamba
Allah yang berjuang melawan hawa nafsunya.”
Al-Hafidz
al-'Iraqiy menyatakan bahwa isnad hadits ini lemah. Menurut Al-Hafidz
Ibnu Hajar al-Asqalaaniy, hadits tersebut adalah ucapan dari Ibrahim
bin 'Ablah. (lihat kitab Al Jihad wal Qital fi Siyasah Syar’iyah karya
Dr. Muhammad Khair Haikal)
Hadits ini tidak bisa
digunakan untuk sebuah hujjah, karena al-Baihaqi berkata berkaitan
dengan ini, “mata rantai dari periwayatannya adalah lemah (dha’if).”
As-Suyuti juga berpendapat bahwa aspek hukumnya lemah, hal ini beliau
utarakan dalam bukunya, Jami’ As-Shaghir.
Sebagian orang mungkin
mengatakan bahwa hadits dha’if bisa diterima dalam persoalan keutamaan
amal. Pendapat ini tidak bisa diterima, karena kami tidak percaya bahwa
jihad bisa digunakan untuk keutamaan amal. Jika hal itu memang benar,
bagaimana mungkin Rasulullah saw. bersabda bahwa, “Diamnya ummat ini
adalah penghianatan terhadap jihad”
Selanjutnya, siapapun yang
mengikuti Yahya Ibn al-‘Ala’, sebagai seorang perowi hadits maka akan
menemukan dalam biografinya sesuatu yang akan menyebabkannya
meninggalkan hadits tersebut. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata
(berpendapat) tentangnya dalam At-Taqrib, “Dia tertuduh sebagai pemalsu
hadits”. Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Mizan, “ Abu Hatim berkata bahwa
dia bukanlah seorang perowi yang kuat, Ibnu Mu’in menggolongkannya
sebagai perawi yang lemah. Ad-Daruqutni berkata bahwa dia telah
dihapuskan (dalam daftar perawi) dan Ahmad bin Hanbal berkata “ Dia
adalah seorang pembohong dan pemalsu hadits”.
- رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب
“Kita
telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para
sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda:
“Jihadnya hati melawan hawa nafsu.” [Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam
Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az
Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga
mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna].
Berkata
Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam hal. 369 (Tahqiq Thoriq bin
‘Iwadhullah) : “Ini diriwayatkan secara marfu’ dari hadits Jabir dengan
sanad yang lemah, dan lafazhnya :
قَدِمْتُمْ مِنَ الْجِهَادِ
الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ قَالُوْا وَمَا الْجِهَادُ
الْأَكْبَرُ قَالَ مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ لِهَوَاهُ
“Kalian
datang dari jihad kecil menuju jihad besar. (Mereka) berkata : “Apakah
jihad besar itu?”. beliau menjawab : “Jihadnya seorang hamba melawan
hawa nafsunya”.”
Hadits ini adalah hadits
palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa
(11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah
(211). Dan Syaikh Al-Albany rahimahullah menyebutkan hadits di atas
dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah no. 2460 dan memberikan vonis
terhadap hadits tersebut sebagai hadits “Mungkar”. Dan dari uraian
beliau diketahui bahwa hadits ini dikeluarkan oleh Abu Bakr Asy-Syafi’iy
dalam Al-Fawa`id Al-Muntaqoh, Al-Baihaqy dalam Az-Zuhd, Al-Khatib dalam
Tarikh-nya dan Ibnul Jauzy dalam Dzammul Hawa, dan juga dipahami bahwa
selain dari Ibnu Rajab, hadits ini juga dilemahkan oleh Al-Baihaqy,
Al-’Iraqy dalam Takhrijul Ihya` dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Takhrijul
Kasysyaf. Hal yang serupa dikemukakan oleh Syaikh Muhammad ‘Amr
bin ‘Abdul Lathif dalam Tabyidh Ash-Shohifah Bi Ushul Al-Ahadits
Adh-Dho’ifah hal 76 hadits no. 25.
Hadits ini sering dibawakan
para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa
jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad
berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits
ini tidak ada asalnya(“La ashla lahu). Tidak ada seorang pun Ahlul
Ma’rifah / ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan
maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal
yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan
sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna
dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan
Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun
berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa
nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi
- Adapun
yang laris dikalangan banyak penceramah dan khatib jum’at bahwa Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengucapkan hadits pada
perang Tabuk dengan lafazh :
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ جِهَادُِ النَّفْسِ
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar (yaitu) melawan diri sendiri”.
Asal
hadits di atas adalah ucapan Ibrahim bin Abi Ablah sebagaimana dalam
biografi beliau dari kitab Tahdzibul Kamal karya Al-Hafizh Al-Mizzy dan
Siyar A’lam An-Nubala` karya Al-Hafizh Adz-Dzahaby. Berkata Al-Hafizh
Ibnu Hajar dalam Tasdidul Qaus sebagaimana dalam Kasyful Khafa`
1/434-435/1362 karya Al-Ajluny : “Ia (hadits ini) adalah masyhur pada
lisan-lisan manusia dan ia adalah dari
ucapan Ibrahim bin Abi Ablah dalam Al-Kuna karya An-Nasa`i”.
Dan
Syaikh Muhammad ‘Amr bin ‘Abdul Lathif menyebutkan bahwa perkataan
Ibrahim bin Abi Ablah diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dari jalan
An-Nasa`i.
- "Kita baru saja kembali dari jihad
kecil menuju jihad yang besar. Para sahabat bertanya, "Apa jihad besar
itu?, Nabi SAW menjawab, "Jihaad al-qalbi (jihad hati).' Di dalam
riwayat lain disebutkan jihaad al-nafs". (lihat Kanz al-'Ummaal, juz
4/616; Hasyiyyah al-Baajuriy, juz 2/265).
Hadist
dengan lafazh ini tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadist. Hanya saja
ada lafazh lainnya, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam az-Zuhd no 373,
Abu Bakar asy Syafi’i dalam al-Fawa’id al-Muntaqoh: 13/83/1, al-Khotib
al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad: 13/523; semuanya melalui jalur Yahya
bin Ya’la dari Laits dari Atho’ dari Jabir dengan lafahz:
Pernah
suatu kaum yang berperang datang kepada Nabi Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam , maka Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Selamat
datang dari jihad kecil menuju jihad besar. “ditanyakan kepada beliau :
apa itu jihad besar.” “Beliau menjawab : Jihad seorang hamba melawan
hawa nafsunya”.
Sanad ini lemah, sebab Yahya bin Ya’la dan Laits adalah dua rowi yang lemah haditsnya.
Al – Baihaqi rahimahullah berkata :”Di dalam sanad ini ada kelemahan”
Al – Hafizh al-Iraqi rahimahullah berkata : “Sanadnya lemah”
Al
– Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Hadist ini diriwayatkan
dari jalan Isa bin Ibrahim dari Yahya dari Laits bin Abu Sulaim, padahal
mereka seluruhnya adalah orang-orang yang lemah. Dan an-Nasa’i
membawakannya dari ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ablah, salah seorang tabi’in
Syam.”
Al – Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam
Tasdidul-Qus : “Hadist ini sangat masyhur dan banyak beredar, padahal
itu hanyalah perkataan Ibrahim bin Abi ‘Ablah yang diriwayatkan oleh
an-Nasa’i dalam al-Kuna”
Syakhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata : “ Hadist ini tidak ada asalnya, tidak ada seorang ahli hadist
pun yang meriwayatkannya. Jihad melawan orang kafir merupakan amalan
ketaatan yang paling utama (bukan sekedar Jihad kecil, Red)”
Konsepsi
ini walaupun secara fakta didasarkan atas sebuah hadits, akan tetapi
hadits ini dapat disangkal dari beberapa aspek, yang akan kami sebutkan
berikut ini.
- Pertama: Status hadits Jihaad al-nafs lemah (dhaif), baik ditinjau dari sisi Sanad maupun Matan.
Dari
sisi Sanad, isnad hadits tersebut lemah (dha'if). dan tidak Ada satupun
dari Lafazh-lafazhnya yang Selamat dari Celaan Para Ulama Ahli Hadits.
Dari
sisi Matan hadits (redaksi), redaksi hadits Jihaad al-nafs di atas
bertentangan dengan nash Al Qur’an maupun Hadits yang menuturkan
keutamaan jihaad fi sabilillah di atas amal-amal kebaikan yang lain.
Oleh karena itu, redaksi (matan) hadits jihad al-nafs tidak dapat
diterima karena bertentangan dengan nash-nash lain yang menuturkan
keutamaan jihad fi sabilillah di atas amal-amal perbuatan yang lain.
Mengkritk matan hadits:
Matan
hadist ini juga perlu ditinjau ulang, karena bagaimana mungkin jihad
melawan orang kafir sebagai amalan yang sangat utama dalam Islam disebut
“jihad kecil”, padahal berapa banyak ayat dan hadist yang
menganjurkannya.
Ustadz Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat
berkata : “selain itu, kalau kita perhatikan maknanya (hadist ini),
niscaya tampaklah kebatilannya yang akan membawa kerusakan bagi umat ini
Pertama
: Mengecilkan (meremehkan) jihad karena kalau peperangan-peperangan
besar pada masa Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam seperti perang
Badar dan Tabuk dinamakan perang kecil, maka bagaimana dengan
jihad-jihad yang sesudahnya? Bukankah semakin kecil dan tidak ada
artinya sama sekali?
Kedua : Melemahkan semangat jihad
umat Islam karena semua itu adalah jihad kecil, meskipun negara dan
harta-harta mereka dirampas, darah mereka ditumpahkan serta kehormatan
mereka dilanggar!
Ketiga : Setiap muslim akan
mementingkan dirinya masing-masing tanpa mau peduli urusan umat, karena
urusan diri adalah jihad akbar (besar) sedangkan urusan umat hanya jihad
ashghor (kecil)!
Jelas sekali, pikiran di atas menyalahi
ketetapan Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah beliau buat untuk
umat ini, yaitu bahwa orang mukmin itu seumpama satu bangunan yang
sebagiannya menguatkan sebagian yang lain (lihat Shohih al-Bukhori ;
1/23, 7/80 dan Shohih Muslim: 8/20)
Keempat : Siyaq
(susunannya) bukan susunan nubuwwah atau kenabian melainkan orang yang
putus jiwanya, putus asa, patah semangat, dan penakut yang tidak mungkin
diucapkan oleh seorang nabi yang pernah bersabda di waktu Perang Uhud :
“Bangkitlah kalian menuju Surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
(Shohih Muslim : 8/20)”
Kelima : Bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist-hadist shohih.
Keenam
: Rupanya si pembuat hadist palsu ini seorang yang bodoh tentang
hakikat jihad sehingga perlu dia dibandingkan dengan jihad nafs.
Ketahuilah
bahwa seorang yang pergi ke medan jihad dengan ikhlas sebelumnya dia
telah menundukkan dan mengalahkan hawa nafsunya. Dan ini kenyataan yang
tidak bisa dipungkiri lagi bagi mereka yang mempunyai bashiroh.”
Seandainya
keabsahan hadits ini tidak kita perbincangkan, maka lafadz jihad
al-akbar yang tercantum di dalam hadits itu wajib dipahami dalam konteks
literal umum; yakni perang hati atau jiwa melawan hawa nafsu dan
syahwat serta menahan jiwa untuk selalu taat kepada Allah swt. Artinya
lafadz itu dipahami sekedar makna bahasa (lughawiy) saja, bukan makna
urfiy (konvensi umum) apalagi makna syar’iy. Sebab menurut Dr. Husain
Abdullah dalam kitab Mafahim Islamiyah, suatu lafadz jika memiliki makna
bahasa, syar'iy, dan 'urfiy, maka harus dipahami berdasarkan makna
syar'iynya terlebih dahulu. Baru kemudian dipahami pada konteks 'urfiy
(konvensi umum), dan lughawiy (literal).
Lafadz jihad (jihad
al-akbar) yang termaktub di dalam ’hadits’ jihaad al-nafs harus dipahami
berdasarkan pengertian lughawiy. Karena kata jihad dalam konteks
syar'iy dan urfiy, telah dipahami sebagai perang melawan orang kafir
(perang fisik), dan tidak boleh diartikan dengan perang melawan hawa
nafsu dan syahwat.
- Kedua, Hadits ini secara tegas dan jelas bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Allah Yang Maha Kuasa berfirman:
“Tidaklah
sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak
mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan
harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad
dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat.
Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga)
dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk
dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya,
ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. An-Nisaa’, 4: 95-96).
Allah Yang Maha Kuasa juga berfirman:
Orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta,
benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan
itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS.At-Taubah:20)
- Ketiga
: Hadits ini (hadits tentang jihad melawan hawa nafsu) bertentangan
dengan hadits-hadits mutawatir yang disampaikan oleh Nabi saw., yang
menjelaskan tentang keutamaan jihad. Kami akan menyebutkan beberapa
diantaranya.
“Waktu pagi atau sore yang digunakan di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (Bukhari dan Muslim)
“Berdiri satu jam dalam perang di jalan Allah lebih baik daripada berdiri dalam shalat selama 60 tahun.” (shahih al-Jami’)
Abu Hurairah ra berkata,
“
Apakah ada diantara kamu yang mampu berdiri dalam shalat tanpa berhenti
dan terus melakukannya sepanjang hidupnya?” Orang-orang berkata, “Wahai
Abu Hurairah! Siapa yang mampu melakukannya?” Beliau berkata “Demi
Allah! Satu harinya seorang Mujahid di jalan Allah adalah lebih baik
daripada itu.”
Pernyataan dari orang yang mengatakan
bahwa “Berjuang melawan dirinya sendiri adalah jihad yang terbesar
karena tiap individu mendapatkan ujian siang dan malam”, dapat disangkal
dengan hadits berikut:
Dari Rasyid, dari Sa’ad r.a., dari seorang
sahabat, seorang laki-laki bertanya, “ Ya Rasulallah! Kenapa semua
orang-orang yang beriman mendapatkan siksa kubur kecuali orang-orang
yang syahid?” Beliau saw. menjawab: “Pertarungan dari pedang di atas
kepalanya telah cukup sebagai siksaan (ujian) atasnya.” (Shahih Jami’)
- Keempat : Kesalahpahaman dan fitnah ini termasuk dalam bentuk ketidak adilan dan salah dalam menempatkan status para mujahid.
Allah ta’ala telah memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan sebagaimana dalam firman-Nya,
“Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al Maidah, 5: 8).
Apakah adil, kita
mengatakan perang yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di medan
perang adalah jihad yang paling rendah? Ketika dalam hitungan menit saja
tubuh-tubuh mereka meledak, berpencarlah kaki-kaki mereka, tubuh-tubuh
mereka melayang (mengambang) di air, darah berceceran dimana-mana,
sampai-sampai jenazah-jenazah mereka tidak bisa dikuburkan (karena telah
hancur).
Itu semua mereka lakukan untuk mendapatkan
keridhoan-Nya. Dimana letak kerendahan dari jihad yang dilakukan oleh
pemuda-pemuda tadi jika dibandingkan dengan aktivitas puasa kita, yang
berbuka dengan makanan lezat, lalu bagaimana mungkin aktivitas puasa itu
dinilai sebagai jihad yang paling besar? Demi Allah! Ini adalah
pemberian nilai yang tidak sesuai, jika anda menyampaikan permasalahan
ini sebelumnya pada generasi pertama (Islam) maka mereka tidak akan
pernah menyampaikan pandangan hukum berbeda.
- Kelima:
Tatkala kita ditimpa ujian yang sangat berat dimana kaki ikut terguncang
dan hati selalu was-was akan ancaman, bisakah itu disebut jihad yang
rendah? Ketika kita merasakan keadaan aman dan nyaman di rumah,
berkumpul dengan keluarga dan teman-teman, bisakah ini disebut dengan
tingkatan jihad yang tertinggi ! Keadaan ini seperti ungkapan seseorang
yang gembira dalam keadaan duduk membelakangi perintah Rasulullah saw.
dan sahabat-sahabatnya. Seperti orang yang mendapati kesenangan dan
kenyamanan dalam hidupnya padahal realitanya mereka hanya menipu jiwa
mereka sendiri yang lemah karena nilai-nilai kebenaran amal seluruhnya
mereka tentang.
Berikut kami kutipkan beberapa kalimat yang telah
dikirim oleh seorang mujahid Abdullah bin Al-Mubaraq dari tanah jihad
kepada temannya Al-Fudail bin Iyyad, orang yang menasihati para penguasa
dan membuatnya menangis, beliau tidak meminta bayaran akan tetapi murni
muncul dari keikhlasan.
يَاعَابِدَ الْحَرَمَيْنِ لَوْ أَبْصَرْتَنَا
لَعَلِمْتَ أَنَكَ بِالعِبَادَةِ تَلْعَبُ
مَنْ كَانَ يَخْضَبُ خَدُهُ بِدُمُوْعِهِ
فَنُحُوْرُنَا بِدِمَائِنَا تَتَخَضَبُ
“
Wahai orang yang beribadah di Masjid Haromain, seandainya engkau
melihat kami tentu engkau tahu bahwa engkau dalam beribadah itu hanya
main-main saja, kalau orang pipinya berlinang air mata, maka, leher kami
dilumuri darah “
♥Pertimbangan Jihad
Sebagian
orang mungkin heran ketika mereka mendengar orang yang menggambarkan
jihad (di medan perang) adalah jihad yang terendah atau orang yang
menganggap berperang di jalan Allah merupakan aktivitas yang kecil
dibandingkan dengan perbuatan yang lain. Jika kita menelusuri kehidupan
orang-orang tersebut, melihat sejarah mereka dan mempelajari
alasan-alasan mereka atas penolakan persoalan ini, maka akan kita
temukan bahwa penjelasan atas pendirian mereka adalah sangat sederhana.
Orang-orang tersebut meremehkan jihad dan memberikan prioritas kepada
studi di Universitas, menulis di majalah-majalah dan berpidato di
konferensi-konferensi untuk mengakhiri perang dan mengakhiri aksi
syahid. Dengan melihat kehidupan mereka, maka akan ditemukan sebuah
ancaman terhadap kesatuan ummat, karena ummat ini akan digiring pada
pandangan mereka.
Ummat akan merasa bahwa dirinya lemah dan
menahan diri dari aktivitas jihad (mereka hanya menerima teori dan
konsepnya saja) akan tetapi tidak berpartisipasi dalam jihad. Tidak ada
keinginan atas dirinya untuk bersama-sama dengan orang-orang yang
mendapatkan rahmat Allah (Syahid), mereka juga menganggap tidak memiliki
keuntungan untuk bergabung dengan camp-camp mujahid. Sebuah camp yang
serba sederhana, jauh dari kemewahan dan kekurangan akan bahan pokok,
yang akan menjadikan mereka merasakan perbedaannya antara kehidupan di
camp tersebut dengan kehidupan yang dijalaninya di universitas yang
penuh dengan makanan-makanan, hiburan dan ruangan kelas yang ber-AC.
♥AL-GHOZALI DAN KITABNYA, IHYA’ ULUMUDDIN
Termasuk
faktor penyebab tersebarnya hadist ini adalah termuatnya hadist
pembahasan dalam kitab monumental al-Ghozali, Ihya’ Ulumuddin (3/1609
dan 3/1726). Sedangkan Ihya Ulumuddin ini merupakan kitab yang sangat
masyhur dan menjadi pedoman para ustadz, da’i dan kiai di negeri kita,
padahal kitab ini – sebagaimana disoroti oleh para ulama – banyak memuat
hadist-hadist lemah dan palsu bahkan tidak ada asalnya dari Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam.
Imam as-Subkhi rahimahullah menulis
pasal khusus tentang hadist-hadist yang tidak beliau jumpai asalnya
dalam ihya’, ternyata terhitung kurang lebih ada 923 hadist. Demikian
pula al-Hafizh al-Iroqi rahimahullah dalam Takhrij Ihya’ seringkali
melemahkan hadist-hadistnya, bahkan beliau tak jarang mengatakan : “Saya
belum menemukan asal-usulnya”
Hal ini tidak mengherankan bila
kita mengetahui bahwa al-Ghozali memang bukan ahli hadist sebagaimana
pengakuannya sendiri :”Perbendaharaanku dalam hadist hanya sedikit”.
♥JIHAD MELAWAN HAWA NAFSU
Setelah
membaca keterangan di atas, kami berharap tidak ada pembaca yang
beranggapan bahwa kami mengingkari jihad melawan hawa nafsu atau
mengecilkannya. Sesungguhnya yang kami ingkari adalah pemahaman yang
keliru tentang hadist ini yang mengecilkan jihad fi sabilillah yaitu
perang melawan musuh-musuh Alloh demi tegaknya panji Islam, dengan tetap
menjaga jihad nafs.
Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Seorang mujahid adalah seorang yang melawan hawa nafsunya”
Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah tatkala mengatakan :
“Jihad
memiliki empat tingkatan: jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan
setan, jihad melawan orang kafir dan jihad melawan orang munafik.
Wallahua’lam. Semoga Bermanfaat. =)