Minggu, 28 April 2013

PEDOMAN ISLAM MENYIKAPI MUSIBAH




Sebagai agama sempurna, Islam memberikan pedoman lengkap guna menyikapi segala macam peristiwa, baik suka maupun duka. Sabda Nabi SAW,
"Sungguh menakjubkan keadaan orang mukmin, karena semua keadaannya baik baginya, dan itu tidak terjadi pada siapa pun kecuali pada orang mukmin. Jika dia mendapat kelapangan dia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika dia ditimpa kesulitan dia bersabar, maka itu pun baik baginya." (HR. Muslim).


Pedoman Islam itu antara lain menyangkut bagaimana menyikapi musibah. Oleh ulama musibah didefinisikan sebagai "segala apa yang dibenci yang terjadi pada manusia" (kullu makruuhin yahullu bi al-insan) (Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, h. 527).
Bagaimana pedoman Islam dalam menyikapi musibah seperti ini? Bagi shahibul musibah (yang terkena musibah) Islam memberikan pedoman sikap antara lain :

1. IMAN DAN RIDHO TERHADAP KETENTUAN (QADAR) ALLAH 
Kita wajib beriman bahwa musibah apa pun seperti kematian, gunung meletus, gempa bumi, banjir, wabah penyakit, sudah ditetapkan Allah SWT dalam Lauhul Mahfuzh. Kita pun wajib menerima ketentuan Allah ini dengan lapang dada (ridho). Allah SWT berfirman :
"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS al-Hadid [57] : 22) 
Maka dari itu, tidak benar kalau suatu musibah dihubung-hubungkan dengan hal-hal yang mengesankan pengingkaran bahwa musibah adalah ketentuan Alah. Misalnya orang berkata Merapi meletus karena Merapi sedang mempunyai hajat membangun Kraton Yogya. Yang benar, bencana ini adalah ketentuan Allah, bukan lantaran Merapi sedang mempunyai hajat membangun Kraton Yogya.
Kita pun wajib menerima taqdir Allah ini dengan rela, bukan dengan menggerutu atau malah menghujat Allah SWT. Misalnya dengan berkata,"Ya Allah, mengapa harus aku? Apa dosaku ya Allah?" Hujatan terhadap Allah Azza wa Jalla ini sungguh kurang ajar dan tidak sepantasnya, sebab Allah SWT berfirman :
 "Dia [Allah] tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai." (QS al-Anbiyaa` [21] : 23) 
2. SABAR MENGHADAPI MUSIBAH 
Sabar, menurut Imam Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalain, adalah menahan diri terhadap apa-apa yang Anda benci (al-habsu li an-nafsi ‘alaa maa takrahu). Sikap inilah yang wajib kita miliki saat kita menghadapi musibah. Selain itu, disunnahkan ketika terjadi musibah, kita mengucapkan kalimat istirja’ (Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun ). Allah SWT berfirman :
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" (QS al-Baqarah [2] : 155-156) 
Dengan demikian, sabarlah ! Jangan sampai kita meninggalkan sikap sabar dengan berputus asa atau berprasangka buruk seakan Allah tidak akan memberikan kita kebaikan di masa depan. Ingat, putus asa adalah su`uzh-zhann billah (berburuk sangka kepada Allah) ! Su`uzh-zhann kepada manusia saja tidak boleh, apalagi kepada Allah.
Memang, orang yang tertimpa musibah mudah sekali terjerumus ke dalam sikap putus asa (QS 30 : 36). Namun Allah SWT menegaskan, sikap itu adalah sikap kufur, sebagaimana firman-Nya :
"Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (QS Yusuf [12] : 87)

3. MENGETAHUI HIKMAH DI BALIK MUSIBAH 
Seorang muslim yang mengetahui hikmah (rahasia) di balik musibah, akan memiliki ketangguhan mental yang sempurna. Berbeda dengan orang yang hanya memahami musibah secara dangkal hanya melihat lahiriahnya saja. Mentalnya akan sangat lemah dan ringkih, mudah tergoncang oleh sedikit saja cobaan duniawi.
Hikmah musibah antara lain diampuninya dosa-dosa. Sabda Rasulullah SAW :
"Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah tertusuk duri atau lebih dari itu, kecuali dengannya Allah akan menghapus sebagian dosanya." (HR Bukhari dan Muslim) 
Muslim yang mati tertimpa bangunan atau tembok akibat gempa, tergolong orang yang mati syahid. Sabda Nabi SAW :
"Orang-orang yang mati syahid itu ada lima golongan; (1) orang yang terkena wabah penyakit tha’un, (2) orang yang terkena penyakit perut (disentri, kolera, dsb), (3) orang yang tenggelam, (4) orang yang tertimpa tembok/bangunan, dan (5) orang yang mati syahid dalam perang di jalan Allah." (HR Bukhari dan Muslim) 
"Akan diampuni bagi orang yang mati syahid setiap-tiap dosanya, kecuali utang." (HR Muslim) 
Hikmah lainnya ialah, jika anak-anak muslim meninggal, kelak mereka akan masuk surga. Sabda Nabi SAW:
"Anak-anak kaum muslimin [yang meninggal] akan masuk ke dalam surga." (HR Ahmad) 
4. TETAP BERIKHTIAR 
Maksud ikhtiar, ialah tetap melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki keadaan dan menghindarkan diri dari bahaya-bahaya yang muncul akibat musibah. Jadi kita tidak diam saja, atau pasrah berpangku tangan menunggu bantuan datang.
Beriman kepada ketentuan Allah tidaklah berarti kita hanya diam termenung meratapi nasib, tanpa berupaya mengubah apa yang ada pada diri kita. Allah SWT berfirman :
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS Ar Ra'du : 11) 
Ketika terjadi wabah penyakit di Syam, Umar bin Khattab segera berupaya keluar dari negeri tersebut. Ketika ditanya,"Apakah kamu hendak lari dari taqdir Allah?" maka Umar menjawab,"Ya, aku lari dari taqdir Allah untuk menuju taqdir Allah yang lain."
Rasulullah SAW pun memberi petunjuk bahwa segala bahaya (madharat) wajib untuk dihilangkan. Misalnya ketiadaan logistik, tempat tinggal, masjid, sekolah, dan sebagainya. Nabi SAW bersabda,
"Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain." (HR Ibnu Majah) 
5. MEMPERBANYAK BERDOA DAN BERDZIKIR 
Dianjurkan memperbanyak doa dan dzikir bagi orang yang tertimpa musibah. Orang yang mau berdoa dan berdzikir lebih mulia di sisi Allah daripada orang yang tidak mau atau malas berdoa dan berdizikir. Rasululah SAW mengajarkan doa bagi orang yang tertimpa musibah :
"Allahumma jurnii fii mushiibatii wa akhluf lii khairan minhaa (Ya Allah, berilah pahala dalam musibahku ini, dan berilah ganti bagiku yang lebih baik daripadanya.)  (HR Muslim)

Dzikir akan dapat menenteramkan hati orang yang sedang gelisah atau stress. Allah SWT berfirman :
"Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (QS Ar Ra'du : 28) 
Dzikir yang dianjurkan misalnya bacaan istighfar,"Astaghfirullahal ‘azhiem". Sabda Nabi SAW :
"Barangsiapa memperbanyak istighfar, maka Allah akan membebaskannya dari kesedihan, akan memberinya jalan keluar bagi kesempitannya, dan akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya." (HR Abu Dawud) 
6. BERTAUBAT 
Tiada seorang hamba pun yang ditimpa musibah, melainkan itu akibat dari dosa yang diperbuatnya. Maka sudah seharusnya, dia bertaubat nasuha kepada Allah SWT. Orang yang tak mau bertaubat setelah tertimpa musibah, adalah orang sombong dan sesat. Allah SWT berfirman :
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar." (QS Asy Syuura : 30) 
Sabda Nabi SAW
"Setiap anak Adam memiliki kesalahan (dosa). Dan sebaik-baik orang yang bersalah, adalah orang yang bertaubat." (HR at-Tirmidzi). 
Bertaubat nasuha rukunnya ada 3 (tiga). Pertama, menyesali dosa yang telah dikerjakan. Kedua, berhenti dari perbuatan dosanya itu. Ketiga, ber-azam (bertekad kuat) tidak akan mengulangi dosanya lagi di masa datang. Jika dosanya menyangkut hubungan antar manusia, misalnya belum membayar utang, pernah menggunjing seseorang, pernah menyakiti perasaan orang, dan sebagainya, maka rukun taubat ditambah satu lagi, yaitu menyelesaikan urusan sesama manusia dan meminta maaf.

7. TETAP ISTIQOMAH PADA ISLAM 
Dalam setiap musibah, selalu ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya untuk tujuan jahat. Misalkan saja upaya kotor berupa Kristenisasi. Caranya adalah dengan memberikan bantuan logistik, medis, uang, rumah, dan sebagainya.
Tapi semuanya itu tidaklah diberikan dengan tulus, melainkan ada maksud keji di baliknya. Ujung-ujungnya, orang-orang kafir itu ingin sekali memurtadkan orang Islam menjadi orang Kristen. Na`uzhu billah min dzalik.
Di sinilah seorang muslim dituntut untuk bersikap istiqamah, yaitu konsisten di atas satu jalan dengan mengamalkan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan (mulazamah al-thariq bi fi’li al-wajibat wa tarki al-manhiyyat). Allah SWT mewajibkan kita istiqamah :
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan" (QS Huud : 112)
Muslim yang murtad (keluar dari agama Islam) dan menjadi pemeluk Kristen, sungguh telah tertipu mentah-mentah dunia akhirat. Allah SWT berfirman :
"Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS Al Baqarah : 217) 
Karena itu wajiblah bagi kita untuk terus istiqamah mempertahankan keislaman kita. Jangan mudah tergiur oleh bujuk rayu setan berbentuk manusia itu. Jangan mati kecuali tetap memegang teguh agama Islam. Allah SWT berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam." (QS Ali Imran : 102)
Demikianlah atara lain pedoman Islam dalam menyikapi musibah. Khususnya bagi shahibul musibah (yang terkena musibah). Dengan berpegang teguh dengan pedoman-pedoman Islam di atas, mudah-mudahan Allah SWT akan memberikan rahmat, hidayah, dan ‘inayah-Nya kepada kita semua. Amin !

Kamis, 25 April 2013

Bantahan Atas Hadis Jihad Melawan Hawa Nafsu


Bismillahirrohmanirrohim.
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘Alamin, kemenangan akhir adalah bagi orang-orang yang bertaqwa dan tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang zalim.

ARTIKEL INI SAYA PUBLISH UNTUK MEMBANTAH ARGUMENTASI KAUM SUFI DAN LIBERAL JUGA PARA ORIENTALIS YANG INGIN MERUBAH MAKNA JIHAD yang sebenarnya!

Diantara kesalahan tentang pemahaman Jihad yang menyebabkan ummat enggan untuk melaksanakannya adalah pemahaman jihad besar (jihad melawan hawa nafsu) dan jihad yang lebih rendah. Seiring dengan keyakinan ini, berjuang melawan hawa nafsunya sendiri dipertimbangkan sebagai jihad yang terbesar, yang menjadikan jihad dengan berperang di medan pertempuran merupakan jihad yang paling rendah.

Lafazh-Lafazh Hadits:

  • Al-Khatib Al-Baghdadi dalam bukunya, sejarah Baghdad, dari Yahya Ibnu al ‘Ala’ berkata,
“Kami mendapatkan kabar dari Laith dari ‘Ata’, dari Abu Rabah, dari Jabir mengatakan bahwa, “Sekembalinya Nabi saw dari perang, Beliau mengatakan kepada kami, “Telah datang kepadamu berita yang baik, kamu datang dari jihad yang rendah kepada jihad yang lebih besar yaitu seorang hamba Allah yang berjuang melawan hawa nafsunya.”

Al-Hafidz al-'Iraqiy menyatakan bahwa isnad hadits ini lemah. Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaaniy, hadits tersebut adalah ucapan dari Ibrahim bin 'Ablah. (lihat kitab Al Jihad wal Qital fi Siyasah Syar’iyah karya Dr. Muhammad Khair Haikal)

Hadits ini tidak bisa digunakan untuk sebuah hujjah, karena al-Baihaqi berkata berkaitan dengan ini, “mata rantai dari periwayatannya adalah lemah (dha’if).” As-Suyuti juga berpendapat bahwa aspek hukumnya lemah, hal ini beliau utarakan dalam bukunya, Jami’ As-Shaghir.

Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa hadits dha’if bisa diterima dalam persoalan keutamaan amal. Pendapat ini tidak bisa diterima, karena kami tidak percaya bahwa jihad bisa digunakan untuk keutamaan amal. Jika hal itu memang benar, bagaimana mungkin Rasulullah saw. bersabda bahwa, “Diamnya ummat ini adalah penghianatan terhadap jihad”

Selanjutnya, siapapun yang mengikuti Yahya Ibn al-‘Ala’, sebagai seorang perowi hadits maka akan menemukan dalam biografinya sesuatu yang akan menyebabkannya meninggalkan hadits tersebut. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata (berpendapat) tentangnya dalam At-Taqrib, “Dia tertuduh sebagai pemalsu hadits”. Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Mizan, “ Abu Hatim berkata bahwa dia bukanlah seorang perowi yang kuat, Ibnu Mu’in menggolongkannya sebagai perawi yang lemah. Ad-Daruqutni berkata bahwa dia telah dihapuskan (dalam daftar perawi) dan Ahmad bin Hanbal berkata “ Dia adalah seorang pembohong dan pemalsu hadits”.

  • رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.” [Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna].

Berkata Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam hal. 369 (Tahqiq Thoriq bin ‘Iwadhullah) : “Ini diriwayatkan secara marfu’ dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah, dan lafazhnya :

قَدِمْتُمْ مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ قَالُوْا وَمَا الْجِهَادُ الْأَكْبَرُ قَالَ مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ لِهَوَاهُ
“Kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar. (Mereka) berkata : “Apakah jihad besar itu?”. beliau menjawab : “Jihadnya seorang hamba melawan hawa nafsunya”.”

Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Dan Syaikh Al-Albany rahimahullah menyebutkan hadits di atas dalam Silsilah Ahadits Adh-Dha’ifah no. 2460 dan memberikan vonis terhadap hadits tersebut sebagai hadits “Mungkar”. Dan dari uraian beliau diketahui bahwa hadits ini dikeluarkan oleh Abu Bakr Asy-Syafi’iy dalam Al-Fawa`id Al-Muntaqoh, Al-Baihaqy dalam Az-Zuhd, Al-Khatib dalam Tarikh-nya dan Ibnul Jauzy dalam Dzammul Hawa, dan  juga dipahami bahwa selain dari Ibnu Rajab, hadits ini juga dilemahkan oleh Al-Baihaqy, Al-’Iraqy dalam Takhrijul Ihya` dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Takhrijul Kasysyaf. Hal yang serupa dikemukakan oleh Syaikh Muhammad ‘Amr bin ‘Abdul Lathif dalam Tabyidh Ash-Shohifah Bi Ushul Al-Ahadits Adh-Dho’ifah hal 76 hadits no. 25.

Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya(“La ashla lahu). Tidak ada seorang pun Ahlul Ma’rifah / ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi

  • Adapun yang laris dikalangan banyak penceramah dan khatib jum’at bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengucapkan hadits pada perang Tabuk dengan lafazh :
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ جِهَادُِ النَّفْسِ
“Kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad besar (yaitu) melawan diri sendiri”.

Asal hadits di atas adalah ucapan Ibrahim bin Abi Ablah sebagaimana dalam biografi beliau dari kitab Tahdzibul Kamal karya Al-Hafizh Al-Mizzy dan Siyar A’lam An-Nubala` karya Al-Hafizh Adz-Dzahaby. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tasdidul Qaus sebagaimana dalam Kasyful Khafa` 1/434-435/1362 karya Al-Ajluny : “Ia (hadits ini) adalah masyhur pada lisan-lisan manusia dan ia adalah dari ucapan Ibrahim bin Abi Ablah dalam Al-Kuna karya An-Nasa`i”.
Dan Syaikh Muhammad ‘Amr bin ‘Abdul Lathif menyebutkan bahwa perkataan Ibrahim bin Abi Ablah diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dari jalan An-Nasa`i.

  • "Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar. Para sahabat bertanya, "Apa jihad besar itu?, Nabi SAW menjawab, "Jihaad al-qalbi (jihad hati).' Di dalam riwayat lain disebutkan jihaad al-nafs". (lihat Kanz al-'Ummaal, juz 4/616; Hasyiyyah al-Baajuriy, juz 2/265).

Hadist dengan lafazh ini tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadist. Hanya saja ada lafazh lainnya, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam az-Zuhd no 373, Abu Bakar asy Syafi’i dalam al-Fawa’id al-Muntaqoh: 13/83/1, al-Khotib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad: 13/523; semuanya melalui jalur Yahya bin Ya’la dari Laits dari Atho’ dari Jabir dengan lafahz:
Pernah suatu kaum yang berperang datang kepada Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam , maka Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Selamat datang dari jihad kecil menuju jihad besar. “ditanyakan kepada beliau : apa itu jihad besar.” “Beliau menjawab : Jihad seorang hamba melawan hawa nafsunya”.

Sanad ini lemah, sebab Yahya bin Ya’la dan Laits adalah dua rowi yang lemah haditsnya.
Al – Baihaqi rahimahullah berkata :”Di dalam sanad ini ada kelemahan”
Al – Hafizh al-Iraqi rahimahullah berkata : “Sanadnya lemah”

Al – Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Hadist ini diriwayatkan dari jalan Isa bin Ibrahim dari Yahya dari Laits bin Abu Sulaim, padahal mereka seluruhnya adalah orang-orang yang lemah. Dan an-Nasa’i membawakannya dari ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ablah, salah seorang tabi’in Syam.”
Al – Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Tasdidul-Qus : “Hadist ini sangat masyhur dan banyak beredar, padahal itu hanyalah perkataan Ibrahim bin Abi ‘Ablah yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dalam al-Kuna”
Syakhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “ Hadist ini tidak ada asalnya, tidak ada seorang ahli hadist pun yang meriwayatkannya. Jihad melawan orang kafir merupakan amalan ketaatan yang paling utama (bukan sekedar Jihad kecil, Red)”




Konsepsi ini walaupun secara fakta didasarkan atas sebuah hadits, akan tetapi hadits ini dapat disangkal dari beberapa aspek, yang akan kami sebutkan berikut ini.
  • Pertama: Status hadits Jihaad al-nafs lemah (dhaif), baik ditinjau dari sisi Sanad maupun Matan.

Dari sisi Sanad, isnad hadits tersebut lemah (dha'if). dan tidak Ada satupun dari Lafazh-lafazhnya yang Selamat dari Celaan Para Ulama Ahli Hadits.

Dari sisi Matan hadits (redaksi), redaksi hadits Jihaad al-nafs di atas bertentangan dengan nash Al Qur’an maupun Hadits yang menuturkan keutamaan jihaad fi sabilillah di atas amal-amal kebaikan yang lain. Oleh karena itu, redaksi (matan) hadits jihad al-nafs tidak dapat diterima karena bertentangan dengan nash-nash lain yang menuturkan keutamaan jihad fi sabilillah di atas amal-amal perbuatan yang lain.

Mengkritk matan hadits:
Matan hadist ini juga perlu ditinjau ulang, karena bagaimana mungkin jihad melawan orang kafir sebagai amalan yang sangat utama dalam Islam disebut “jihad kecil”, padahal berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkannya.
Ustadz Abu Unaisah Abdul Hakim bin Amir Abdat berkata : “selain itu, kalau kita perhatikan maknanya (hadist ini), niscaya tampaklah kebatilannya yang akan membawa kerusakan bagi umat ini

Pertama : Mengecilkan (meremehkan) jihad karena kalau peperangan-peperangan besar pada masa Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam seperti perang Badar dan Tabuk dinamakan perang kecil, maka bagaimana dengan jihad-jihad yang sesudahnya? Bukankah semakin kecil dan tidak ada artinya sama sekali?

Kedua : Melemahkan semangat jihad umat Islam karena semua itu adalah jihad kecil, meskipun negara dan harta-harta mereka dirampas, darah mereka ditumpahkan serta kehormatan mereka dilanggar!

Ketiga : Setiap muslim akan mementingkan dirinya masing-masing tanpa mau peduli urusan umat, karena urusan diri adalah jihad akbar (besar) sedangkan urusan umat hanya jihad ashghor (kecil)!
Jelas sekali, pikiran di atas menyalahi ketetapan Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang telah beliau buat untuk umat ini, yaitu bahwa orang mukmin itu seumpama satu bangunan yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain (lihat Shohih al-Bukhori ; 1/23, 7/80 dan Shohih Muslim: 8/20)

Keempat : Siyaq (susunannya) bukan susunan nubuwwah atau kenabian melainkan orang yang putus jiwanya, putus asa, patah semangat, dan penakut yang tidak mungkin diucapkan oleh seorang nabi yang pernah bersabda di waktu Perang Uhud : “Bangkitlah kalian menuju Surga yang luasnya seluas langit dan bumi. (Shohih Muslim : 8/20)”

Kelima : Bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadist-hadist shohih.

Keenam : Rupanya si pembuat hadist palsu ini seorang yang bodoh tentang hakikat jihad sehingga perlu dia dibandingkan dengan jihad nafs.

Ketahuilah bahwa seorang yang pergi ke medan jihad dengan ikhlas sebelumnya dia telah menundukkan dan mengalahkan hawa nafsunya. Dan ini kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi bagi mereka yang mempunyai bashiroh.”

Seandainya keabsahan hadits ini tidak kita perbincangkan, maka lafadz jihad al-akbar yang tercantum di dalam hadits itu wajib dipahami dalam konteks literal umum; yakni perang hati atau jiwa melawan hawa nafsu dan syahwat serta menahan jiwa untuk selalu taat kepada Allah swt. Artinya lafadz itu dipahami sekedar makna bahasa (lughawiy) saja, bukan makna urfiy (konvensi umum) apalagi makna syar’iy. Sebab menurut Dr. Husain Abdullah dalam kitab Mafahim Islamiyah, suatu lafadz jika memiliki makna bahasa, syar'iy, dan 'urfiy, maka harus dipahami berdasarkan makna syar'iynya terlebih dahulu. Baru kemudian dipahami pada konteks 'urfiy (konvensi umum), dan lughawiy (literal).
Lafadz jihad (jihad al-akbar) yang termaktub di dalam ’hadits’ jihaad al-nafs harus dipahami berdasarkan pengertian lughawiy. Karena kata jihad dalam konteks syar'iy dan urfiy, telah dipahami sebagai perang melawan orang kafir (perang fisik), dan tidak boleh diartikan dengan perang melawan hawa nafsu dan syahwat.
  • Kedua, Hadits ini secara tegas dan jelas bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Allah Yang Maha Kuasa berfirman:

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’, 4: 95-96).
Allah Yang Maha Kuasa juga berfirman:

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS.At-Taubah:20)

  • Ketiga : Hadits ini (hadits tentang jihad melawan hawa nafsu) bertentangan dengan hadits-hadits mutawatir yang disampaikan oleh Nabi saw., yang menjelaskan tentang keutamaan jihad. Kami akan menyebutkan beberapa diantaranya.

“Waktu pagi atau sore yang digunakan di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (Bukhari dan Muslim)
“Berdiri satu jam dalam perang di jalan Allah lebih baik daripada berdiri dalam shalat selama 60 tahun.” (shahih al-Jami’)
Abu Hurairah ra berkata,
“ Apakah ada diantara kamu yang mampu berdiri dalam shalat tanpa berhenti dan terus melakukannya sepanjang hidupnya?” Orang-orang berkata, “Wahai Abu Hurairah! Siapa yang mampu melakukannya?” Beliau berkata “Demi Allah! Satu harinya seorang Mujahid di jalan Allah adalah lebih baik daripada itu.”

Pernyataan dari orang yang mengatakan bahwa “Berjuang melawan dirinya sendiri adalah jihad yang terbesar karena tiap individu mendapatkan ujian siang dan malam”, dapat disangkal dengan hadits berikut:
Dari Rasyid, dari Sa’ad r.a., dari seorang sahabat, seorang laki-laki bertanya, “ Ya Rasulallah! Kenapa semua orang-orang yang beriman mendapatkan siksa kubur kecuali orang-orang yang syahid?” Beliau saw. menjawab: “Pertarungan dari pedang di atas kepalanya telah cukup sebagai siksaan (ujian) atasnya.” (Shahih Jami’)

  • Keempat : Kesalahpahaman dan fitnah ini termasuk dalam bentuk ketidak adilan dan salah dalam menempatkan status para mujahid.
Allah ta’ala telah memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan sebagaimana dalam firman-Nya,

“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah, 5: 8).

Apakah adil, kita mengatakan perang yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di medan perang adalah jihad yang paling rendah? Ketika dalam hitungan menit saja tubuh-tubuh mereka meledak, berpencarlah kaki-kaki mereka, tubuh-tubuh mereka melayang (mengambang) di air, darah berceceran dimana-mana, sampai-sampai jenazah-jenazah mereka tidak bisa dikuburkan (karena telah hancur).
Itu semua mereka lakukan untuk mendapatkan keridhoan-Nya. Dimana letak kerendahan dari jihad yang dilakukan oleh pemuda-pemuda tadi jika dibandingkan dengan aktivitas puasa kita, yang berbuka dengan makanan lezat, lalu bagaimana mungkin aktivitas puasa itu dinilai sebagai jihad yang paling besar? Demi Allah! Ini adalah pemberian nilai yang tidak sesuai, jika anda menyampaikan permasalahan ini sebelumnya pada generasi pertama (Islam) maka mereka tidak akan pernah menyampaikan pandangan hukum berbeda.

  • Kelima: Tatkala kita ditimpa ujian yang sangat berat dimana kaki ikut terguncang dan hati selalu was-was akan ancaman, bisakah itu disebut jihad yang rendah? Ketika kita merasakan keadaan aman dan nyaman di rumah, berkumpul dengan keluarga dan teman-teman, bisakah ini disebut dengan tingkatan jihad yang tertinggi ! Keadaan ini seperti ungkapan seseorang yang gembira dalam keadaan duduk membelakangi perintah Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya. Seperti orang yang mendapati kesenangan dan kenyamanan dalam hidupnya padahal realitanya mereka hanya menipu jiwa mereka sendiri yang lemah karena nilai-nilai kebenaran amal seluruhnya mereka tentang.
Berikut kami kutipkan beberapa kalimat yang telah dikirim oleh seorang mujahid Abdullah bin Al-Mubaraq dari tanah jihad kepada temannya Al-Fudail bin Iyyad, orang yang menasihati para penguasa dan membuatnya menangis, beliau tidak meminta bayaran akan tetapi murni muncul dari keikhlasan.
يَاعَابِدَ الْحَرَمَيْنِ لَوْ أَبْصَرْتَنَا
لَعَلِمْتَ أَنَكَ بِالعِبَادَةِ تَلْعَبُ
مَنْ كَانَ يَخْضَبُ خَدُهُ بِدُمُوْعِهِ
فَنُحُوْرُنَا بِدِمَائِنَا تَتَخَضَبُ
“ Wahai orang yang beribadah di Masjid Haromain, seandainya engkau melihat kami tentu engkau tahu bahwa engkau dalam beribadah itu hanya main-main saja, kalau orang pipinya berlinang air mata, maka, leher kami dilumuri darah “



♥Pertimbangan Jihad
Sebagian orang mungkin heran ketika mereka mendengar orang yang menggambarkan jihad (di medan perang) adalah jihad yang terendah atau orang yang menganggap berperang di jalan Allah merupakan aktivitas yang kecil dibandingkan dengan perbuatan yang lain. Jika kita menelusuri kehidupan orang-orang tersebut, melihat sejarah mereka dan mempelajari alasan-alasan mereka atas penolakan persoalan ini, maka akan kita temukan bahwa penjelasan atas pendirian mereka adalah sangat sederhana. Orang-orang tersebut meremehkan jihad dan memberikan prioritas kepada studi di Universitas, menulis di majalah-majalah dan berpidato di konferensi-konferensi untuk mengakhiri perang dan mengakhiri aksi syahid. Dengan melihat kehidupan mereka, maka akan ditemukan sebuah ancaman terhadap kesatuan ummat, karena ummat ini akan digiring pada pandangan mereka.
Ummat akan merasa bahwa dirinya lemah dan menahan diri dari aktivitas jihad (mereka hanya menerima teori dan konsepnya saja) akan tetapi tidak berpartisipasi dalam jihad. Tidak ada keinginan atas dirinya untuk bersama-sama dengan orang-orang yang mendapatkan rahmat Allah (Syahid), mereka juga menganggap tidak memiliki keuntungan untuk bergabung dengan camp-camp mujahid. Sebuah camp yang serba sederhana, jauh dari kemewahan dan kekurangan akan bahan pokok, yang akan menjadikan mereka merasakan perbedaannya antara kehidupan di camp tersebut dengan kehidupan yang dijalaninya di universitas yang penuh dengan makanan-makanan, hiburan dan ruangan kelas yang ber-AC.

♥AL-GHOZALI DAN KITABNYA, IHYA’ ULUMUDDIN
Termasuk faktor penyebab tersebarnya hadist ini adalah termuatnya hadist pembahasan dalam kitab monumental al-Ghozali, Ihya’ Ulumuddin (3/1609 dan 3/1726). Sedangkan Ihya Ulumuddin ini merupakan kitab yang sangat masyhur dan menjadi pedoman para ustadz, da’i dan kiai di negeri kita, padahal kitab ini – sebagaimana disoroti oleh para ulama – banyak memuat hadist-hadist lemah dan palsu bahkan tidak ada asalnya dari Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wasallam.
Imam as-Subkhi rahimahullah menulis pasal khusus tentang hadist-hadist yang tidak beliau jumpai asalnya dalam ihya’, ternyata terhitung kurang lebih ada 923 hadist.  Demikian pula al-Hafizh al-Iroqi rahimahullah dalam Takhrij Ihya’ seringkali melemahkan hadist-hadistnya, bahkan beliau tak jarang mengatakan : “Saya belum menemukan asal-usulnya”
Hal ini tidak mengherankan bila kita mengetahui bahwa al-Ghozali memang bukan ahli hadist sebagaimana pengakuannya sendiri :”Perbendaharaanku dalam hadist hanya sedikit”.

♥JIHAD MELAWAN HAWA NAFSU
Setelah membaca keterangan di atas, kami berharap tidak ada pembaca yang beranggapan bahwa kami mengingkari jihad melawan hawa nafsu atau mengecilkannya. Sesungguhnya yang kami ingkari adalah pemahaman yang keliru tentang hadist ini yang mengecilkan jihad fi sabilillah yaitu perang melawan musuh-musuh Alloh demi tegaknya panji Islam, dengan tetap menjaga jihad nafs.
Rosulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Seorang mujahid adalah seorang yang melawan hawa nafsunya”
Alangkah  bagusnya ucapan al-Hafizh Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah tatkala mengatakan :
“Jihad memiliki empat tingkatan: jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan, jihad melawan orang kafir dan jihad melawan orang munafik.

Wallahua’lam. Semoga Bermanfaat. =)

HATI-HATI! Mengibarkan bendera atau lambang Israel, Anda Sudah Membantu Yahudi-Israel!



Banyak orang menilai, membeli produk Amerika dan Yahudi, mengibarkan bendera Israel bahkan sekedar memakai kalung "Bintang David" tak ada sangkut-pautnya dengan dukungan terhadap Israel. Siapa bilang?

”Banyak mis-informasi di luaran sana. Terutama ketika sebuah insiden terjadi di Israel. Kunjungi situs Kementerian Luar Negeri Israel ( www.mfa.gov.il ) dan situs Pertahanan Israel ( www.idf.il ) guna memperoleh cerita dari sudut pandang Israel, “ demikian bunyi poin ke 33 dari “54 Cara Bagaimana Mendukung Israel(http://www.aish.com/)”.

Ringan dan tidak terlalu berat. Cukup membaca berita dari sudut pandang Israel, Anda sudah dianggap “mendukung zionis”. Bahkan Anda tidak perlu mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk dikirim ke Yerusalem atau Israel, yang jelas-jelas lebih kelihatan dianggap menyumbang Zionis.

Tapi tips seperti itulah yang digalakkan kalangan Zionis-Israel untuk mendapatkan simpati dunia, bahwa dirinya ada dipihak yang benar. Sekurang-kurangnya, Anda bersimpati atas tindakannya sudah bentuk dukungan moril.

Bagi Israel, dukungan tak harus uang atau dana. Cukup mengibarkan bendera atau simbol-simbol Yahudi lain, Anda sudah ikut memberikan harapan dan support.

Banyak orang tak menyangka, sekedar memakai kalung "Bintang David" saja adalah sebuah dukungan. "Kibarkan bendera Israel di depan rumah Anda, gereja dll. Biarkan semua orang tahu bahwa Anda bangga terhadap Israel. Pasang sebuah stiker bertuliskan "Saya Mendukung Israel" di belakang mobil. Pakailah pin gambar bendera kombinasi Amerika/Israel. Jika Anda tidak dapat menemukan bendera Israel, buatlah sendiri, atau suruh anak-anak kecil menggambarnya, lalu pasang di jendela atau kantor, “ demikian dikutip dari http://www.aish.com/, media Yahudi yang mengajak orang berempati dan bersimpati terhadap Zionis IsraHell.

Jadi, Jika ada Orang2 yang begitu bodohnya mau mengibarkan Bendera atau Lambang2 Najis Zionis IsraHell lainnya, Kita Berkewajiban untuk Menegur dan Mengecamnya, sebagai bentuk solidaritas kita terhadap Negara Palestina, dan Negara2 Islam lain yang berada dalam Jajahan Zionis Internasional. Semoga bermanfaat. =)